Sebagai
perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan terbesar, keberadaan PT Timah
menjadi ancaman bagi banyak kompetitor di sekelilingnya. Sejumlah upaya sistematis dijalankan untuk
mengerdilkan eksistensi BUMN ini. Target
jangka pendeknya ; menghilangkan dominasi / superioritas PT Timah dalam dunia pertambangan
timah di Indonesia dan juga dunia. Sedangkan target akhirnya; mematikan kelangsungan hidup BUMN ini di bumi Bangka Belitung.
Penjarahan
WIUP milik PT Timah menjadi salah satu modus yang dijalankan. Sejumlah area IUP
yang potensial dan produktif disikat habis-habisan untuk kemudian ditinggal
begitu saja dengan kondisi lingkungan yang mengenaskan. Belum lagi upaya-upaya
penyelundupan bijih timah yang dijalankan dengan sangat sistematis. Alhasil,
dengan jumlah IUP yang sangat kecil dari total jumlah luas IUP milik PT Timah,
para kompetitor justru mampu berproduksi jauh di atas PT Timah selaku pemilik
IUP terbesar.
Data tahun 2008 menunjukkan ekspor PT
Timah sebanyak 46.438 mton, PT Kobatin 6.623 mton, smelter swasta sebanyak 32.836 mton. Tahun 2009 ekspor PT Timah
sebanyak 49.240 mton, PT Kobatin 7.337 mton, dan smelter swasta sebanyak 44.921 mton. Sementara tahun 2010
ekspor PT Timah sebesar 40.302 mton, PT Kobatin 6.900 mton, adapun smelter
swasta 32.987 mton.
Kenyataan
di atas sangat ironis jika dibandingkan dengan luasan IUP yang dimiliki PT
Timah dengan perusahaan kompetitor lainnya. Data tahun 2010 luas IUP PT Timah 473.800 ha (89 %), PT
Kobatin 41.680 (8%), sedangkan kompetitor lain di luar kedua perusahaan itu
hanya 16. 884 ha. Namun lihat dari jumlah produkstivitas yang mereka hasilkan,
sangat tidak rasional dengan luasan IUP yang mereka kelola.
Kondisi
BUMN ini juga semakin berdarah-darah karena selain dijarah, sejumlah lokasi
produktif PT Timah juga berada di lokasi yang bermasalah seperti di Hutan
Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP), ditindih perkebunan kelapa sawit dan overlap
dengan sarana umum dan pemukiman masyarakat. Tahun 2011 setidaknya terdapat
125,216 hektar luas IUP Perusahaan yang bermasalah di lahan-lahan tersebut.
Praktis, lokasi yang aman untuk ditambang di darat hanya 30 % !.
Beragam
pola alias akal-akalan dijalankan para kompetitor PT Timah. Selain menggerogoti
IUP produktif, mereka juga memakai perpanjangan tangan para kolektor untuk
membeli atau menarik bijih timah dari mitra PT Timah. Para mitra ini secara
sembunyi-sembunyi membeli timah dari masyarakat
penambang yang menambang di lahan APL IUP PT Timah. Tentu saja mitra-mitra
gelap ini membeli dengan harga lebih tinggi dari harga yang dipatok PT Timah.
Dengan modal yang berlimpah karena didanai oleh jaringan asing, mereka mampu
membeli timah secara langsung dan tunai. Cash and carry !
Para
kompetitor ini juga disinyalir menjalin kerjasama dengan oknum aparat yang mem-backing
atau bahkan ikut menambang secara ilegal di wilayah Hutan Produksi, Hutan
Lindung dan Hutan Konservasi dimana WIUP PT Timah berada. Kedekatan dengan
oknum aparat juga menjadi senjata ampuh para kompetitor dalam menjalankan
bisnis terlarangnya. Terbukti, setiap ada informasi akan ada penertiban dari
pusat di wilayah penambangan yang dilarang, para kompetitor ini telah
mengetahui terlebih dahulu sehingga dengan cepat mereka mengamankan semua
peralatan tambang dan menghentikan aktifitasnya serta meninggalkan areal
tambang.
Sistem
bekerja para kompetitor ini dalam upaya untuk mendapatkan dan mengangkut bijih
timah juga sangat rapi. Dari salah satu sumber yang diperoleh Stannia, biasanya timah yang telah dihimpun
oleh kolektor diangkut dengan truk pada malam hari agar bebas dari penyetopan
aparat yang bertugas secara resmi. Sering kali dalam pengangkutan timah
tersebut oknum aparat justru ikut mengawal barang-barang ilegal tersebut.
Selain
beberapa modus di atas, ada juga modus berupa upaya mengaburkan data-data
ekspor terhadap produk ekspor yang bersangkutan.
Hal
yang tidak jauh berbeda juga berlaku di area penambangan lepas pantai. Bukan
rahasia umum lagi kalau di sekitaran kapal keruk milik PT Timah dikelilingi
ratusan TI apung masyarakat. Ini jelas ilegal karena selain memang menambang di
area IUP PT Timah, keberadaan TI-TI apung tersebut sangat mengganggu
operasional kapal keruk. Kalaupun TI Apung diperbolehkan menambang di area IUP
PT Timah, setidaknya jarak yang harus dijaga dari kapal keruk harus dalam
radius sekian ratus meter.
EKSPOR TIMAH ILEGAL MAKIN MARAK
Situasi di atas dipekuat dengan pandangan Direktur
Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengenai carut marutnya dunia pertimahan di
Bangka Belitung. Dalam pernyataannya di hadapan jurnalis nasional di Jakarta
pada Jumat tanggal 8 Maret lalu, Marwan mendesak
pemerintah untuk segera menindak oknum aparat serta pengusaha nakal yang
terlibat dalam praktik penyelundupan timah di Provinsi Bangka Belitung.
Menurut Marwan, praktik-praktik penyelundupan
timah untuk menghindari pembayaran royalti ekspor ke negara maupun daerah
penghasil merupakan penyakit lama yang hingga kini belum bisa diberantas oleh
pemerintah. "Buktinya, smelter di Malaysia dan Singapura masih terus berproduksi. Padahal
seharusnya sekarang mereka sudah tidak bisa berproduksi lagi karena bahan
bakunya selama ini dipasok dari Provinsi Bangka Belitung," ujar Marwan.
Ini merupakan bukti lemahnya law enforcement, yang pada akhirnya
merugikan pemerintah dan pengusaha yang selama ini taat aturan. Karena itu,
sejumlah pengusaha yang selama ini secara tertib membayar royalti, berharap
agar Permendag No 78/2012 diawasi dengan benar. Pengawasan
antara lain dilakukan dengan memberikan izin ekspor hanya kepada perusahaan
yang melampirkan bukti pembayaran royalti dari Surveyor Indonesia dan
Sucofindo.
Dia juga mengritisi kebijakan pemerintah
terkait minerba yang selama ini hanya fokus pada pertumbuhan ekspor, bukan pada
sistem pengelolaan dan pengendalian cadangan minerba yang dimiliki Indonesia.
"Khusus untuk timah, data 2006 cadangan
yang kita miliki sebesar 900 ribu ton. Kalau setiap tahunnya diekspor sebesar
60 ribu sampai 90 ribu ton, maka cadangan yang kita miliki saat ini hanya
tersisa untuk 10 hingga 12 tahun ke depan. Kalau tidak dikelola dengan benar,
potensi timah yang ada di Indonesia akan terus dinikmati oleh negara-negara
lain," ungkapnya.
KRISIS......KRISIS !!
Dengan
gambaran di atas, sebagai institusi korporasi yang begitu identik dengan
sejarah penambangan dan kejayaan timah di Indonesia, sangat jelas bahwa posisi
PT Timah semakin terjepit. Belum lagi dengan berlakunya sejumlah regulasi yang
pada satu sisi justru semakin mempersulit ruang gerak perusahaan ini.
Dengan realitas-realitas di atas pula,
rasa-rasanya aneh jika selaku karyawan kita tidak memiliki 'kecemasan' atau
bahkan 'ketakutan' akan masa depan perusahaan ini.
Buka mata, buka telinga, buka hati dan pikiran
kita semua bahwa masa depan dan kondisi perusahaan sudah dalam kondisi LAMPU
MERAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar