HTI Press. Timah adalah kepemilikan umum maka pengeloaan timah harus dikembalikan negara. Selama ini terjadi perubahan paradigma yang tadinya timah komoditas strategis bagi negara menjadi bukan strategis yang dilegalkan oleh pemerintah melalui undang-undang.
Hal ini ditegaskan Prof Dr Ing Fahmi Amhar Anggota DPP HTI dalam
acara HIP ke 6, HTI Babel bertajuk “Revolusi Pertimahan Menuju
Kesejahteraan Rakyat” di Edotel Pangkalpinang, Sabtu, 19 Februari 2011.
Hadir sebagai narasumber Indra Ambalika Peneliti/Dosen Universitas Bangka Belitung, Aswandi As’an tokoh Desa Penagan, M Wirsa Firdaus Humas PT Timah Tbk, Ust. Firman Saladin HTI Babel, Didit Srigusjaya anggota DPRD Babel/Ketua Fraksi PDIP, Prof Dr Ing Fahmi Amhar DPP HTI.
Hadir pula Wakul Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Syamsuddin Basari, Mantan Gubernur Babel Hudarni Rani, Ketua K-SBSI Babel Darusman Aswan, pengusaha timah Jhohan Murod, Abu Bakar Asisten Walikota Pangkalpinang dan lainnya.
Fahmi mengatakan akar permasalahan carut marutnya pertambangan di Bangka Belitung karena pengelolaan pertimahan oleh pemerintah diserahkan kepada pihak pengusaha yang tidak lain adalah pihak swasta dan asing atau disebut liberalisasi sektor pertambangan. Makanya harus ada perubahan yang mendasar, yakni bukan hanya pergantian pemimpin akan tetapi penggantian sistem harus dilakukan.
“Dimana seharusnya timah dikelola oleh Negara sehingga tidak digunakan oleh sekelompok orang untuk mencari keuntungan,” paparnya.
Dalam Islam setiap kepemilikian umum harus dikembalikan kepada negara sebagai pengelola bukan sebagai pemilik dan hasilnya harus dikembalikan kepada publik
M Wirtsa Firdaus Humas PT Timah Tbk mengatakan bahwa sudah saatnya revolusi pertimahan di Bangka Belitung dilakukan dan perlu adanya kebersamaan yang melibatkan tiga unsur masyarakat yang terdiri dari akademisi, pelaku bisnis dan goverment untuk bersama-sama dalam mengatur pertimahan. Sehingga kesejahteraan masyarakat di Bangka Belitung dapat terwujudkan.
“Perlu adanya pembuatan aturan yang berpihak kepada rakyat dan ditegakkan secara merata kepada seluruh pengusaha pertambangan. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat di Bangka Belitung dapat terwujudkan,” kata Wirtsa.
Wirtsa menegaskan carut marutnya pertimahan di Bangka Belitung tidak terlepas dari intervensi dari berbagai pihak. Baik itu pihak oknum pemerintah maupun intervensi dari pihak asing yang memiliki kepentingan tersendiri.
“Kita akui semua itu tidak luput dari intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan,” ungkapnya.
Didit Srigusjaya membeberkan jika pihaknya mengetahui kurang lebih ada 60 kapal isap yang mengobok-ngobok laut Bangka. Kapal isap ini tidak hanya milik PT Timah Tbk atau mitra PTTimah Tbk saja, melainkan rekanan pemda kabupaten dan propinsi.
“Saya dapatkan dari keterangan Kepala Dinas Pertambangan Bangka Belitung, ada sekitar 60 kapal isap di Bangka Belitung. Itu kenyataannya, dan wilayah yang terbebas untuk Bangka hanya Kabupaten Bangka Tengah dan di Belitung,” kata Didit dalam diskusi tersebut.
Indra Ambalika, Dosen Universitas Bangka Belitung mengatakan ada 31 titik lokasi terumbu karang di wilayah laut Bangka, 18 titik telah mati tertimbun sedimen lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan laut.
Indra mengatakan restorasi di lahan bekas tambang laut bisa dilakukan jika seluruh aktivitas pertambangan di sekitar wilayah laut di Bangka Belitung telah berakhir.
Jika restostorasi dilakukan sebelum seluruh aktivitas penambangan belum selesai maka pekerjaan tersebut akan sia-sia. Pasalnya, sedimen lumpur yang berasal dari wilayah penambangan di sekitar akan menutupi kembali lokasi yang telah diresortasi.
“Yang menjadi kendala dalam melakukan resortasi lokasi penambangan di laut Bangka Belitung selama ini adanya perbedaan waktu habis izin usaha penambangan (IUP) dari masing-masing perusahaan penambang,” jelasnya.
Sementara itu mantan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Hudarni Rani meminta pemerintah agar transparan mengenai jumlah IUP yang diberikan selama lima tahun terakhir. Hal ini menurutnya penting karena lewat perizinan yang diberikan mestinya jelas kontribusi yang didapatkan daerah dari sektor pertimahan.
“Berapa sebenarnya jumlah IUP yang dikeluarkan dan berapa semestinya kontribusi yang didapatkan daerah,” katanya.
Hudarni menilai, sama sekali tidak ada yang transparan dalam dunia pertimahan di Bangka Belitung.
Wakil Gubernur Bangka Belitung, Syamsudin Basari mengatakan revolusi memang pantas saat ini dialamatkan kepada sistem pertimahan di Bangka Belitung. Meskipun Undang-undang minerba sudah berjalan dan diusulkan untuk judicial review.
“Di Bangka Belitung semuanya sudah menjadi rakus, segala-galanya rakus. Bahasa revolusi memang tepat untuk pertimahan di Bangka Belitung,” tukasnya.
HIP ke 6 diikuti sekitar 300 orang peserta yang terdiri dari berbagai elemen baik tokoh masyarakat, ormas, mahasisiwa, LSM, perwakilan media massa dan masyarakat umum lainnya. (Fakhruddin Halim)
Hadir sebagai narasumber Indra Ambalika Peneliti/Dosen Universitas Bangka Belitung, Aswandi As’an tokoh Desa Penagan, M Wirsa Firdaus Humas PT Timah Tbk, Ust. Firman Saladin HTI Babel, Didit Srigusjaya anggota DPRD Babel/Ketua Fraksi PDIP, Prof Dr Ing Fahmi Amhar DPP HTI.
Hadir pula Wakul Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Syamsuddin Basari, Mantan Gubernur Babel Hudarni Rani, Ketua K-SBSI Babel Darusman Aswan, pengusaha timah Jhohan Murod, Abu Bakar Asisten Walikota Pangkalpinang dan lainnya.
Fahmi mengatakan akar permasalahan carut marutnya pertambangan di Bangka Belitung karena pengelolaan pertimahan oleh pemerintah diserahkan kepada pihak pengusaha yang tidak lain adalah pihak swasta dan asing atau disebut liberalisasi sektor pertambangan. Makanya harus ada perubahan yang mendasar, yakni bukan hanya pergantian pemimpin akan tetapi penggantian sistem harus dilakukan.
“Dimana seharusnya timah dikelola oleh Negara sehingga tidak digunakan oleh sekelompok orang untuk mencari keuntungan,” paparnya.
Dalam Islam setiap kepemilikian umum harus dikembalikan kepada negara sebagai pengelola bukan sebagai pemilik dan hasilnya harus dikembalikan kepada publik
M Wirtsa Firdaus Humas PT Timah Tbk mengatakan bahwa sudah saatnya revolusi pertimahan di Bangka Belitung dilakukan dan perlu adanya kebersamaan yang melibatkan tiga unsur masyarakat yang terdiri dari akademisi, pelaku bisnis dan goverment untuk bersama-sama dalam mengatur pertimahan. Sehingga kesejahteraan masyarakat di Bangka Belitung dapat terwujudkan.
“Perlu adanya pembuatan aturan yang berpihak kepada rakyat dan ditegakkan secara merata kepada seluruh pengusaha pertambangan. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat di Bangka Belitung dapat terwujudkan,” kata Wirtsa.
Wirtsa menegaskan carut marutnya pertimahan di Bangka Belitung tidak terlepas dari intervensi dari berbagai pihak. Baik itu pihak oknum pemerintah maupun intervensi dari pihak asing yang memiliki kepentingan tersendiri.
“Kita akui semua itu tidak luput dari intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan,” ungkapnya.
Didit Srigusjaya membeberkan jika pihaknya mengetahui kurang lebih ada 60 kapal isap yang mengobok-ngobok laut Bangka. Kapal isap ini tidak hanya milik PT Timah Tbk atau mitra PTTimah Tbk saja, melainkan rekanan pemda kabupaten dan propinsi.
“Saya dapatkan dari keterangan Kepala Dinas Pertambangan Bangka Belitung, ada sekitar 60 kapal isap di Bangka Belitung. Itu kenyataannya, dan wilayah yang terbebas untuk Bangka hanya Kabupaten Bangka Tengah dan di Belitung,” kata Didit dalam diskusi tersebut.
Indra Ambalika, Dosen Universitas Bangka Belitung mengatakan ada 31 titik lokasi terumbu karang di wilayah laut Bangka, 18 titik telah mati tertimbun sedimen lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan laut.
Indra mengatakan restorasi di lahan bekas tambang laut bisa dilakukan jika seluruh aktivitas pertambangan di sekitar wilayah laut di Bangka Belitung telah berakhir.
Jika restostorasi dilakukan sebelum seluruh aktivitas penambangan belum selesai maka pekerjaan tersebut akan sia-sia. Pasalnya, sedimen lumpur yang berasal dari wilayah penambangan di sekitar akan menutupi kembali lokasi yang telah diresortasi.
“Yang menjadi kendala dalam melakukan resortasi lokasi penambangan di laut Bangka Belitung selama ini adanya perbedaan waktu habis izin usaha penambangan (IUP) dari masing-masing perusahaan penambang,” jelasnya.
Sementara itu mantan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Hudarni Rani meminta pemerintah agar transparan mengenai jumlah IUP yang diberikan selama lima tahun terakhir. Hal ini menurutnya penting karena lewat perizinan yang diberikan mestinya jelas kontribusi yang didapatkan daerah dari sektor pertimahan.
“Berapa sebenarnya jumlah IUP yang dikeluarkan dan berapa semestinya kontribusi yang didapatkan daerah,” katanya.
Hudarni menilai, sama sekali tidak ada yang transparan dalam dunia pertimahan di Bangka Belitung.
Wakil Gubernur Bangka Belitung, Syamsudin Basari mengatakan revolusi memang pantas saat ini dialamatkan kepada sistem pertimahan di Bangka Belitung. Meskipun Undang-undang minerba sudah berjalan dan diusulkan untuk judicial review.
“Di Bangka Belitung semuanya sudah menjadi rakus, segala-galanya rakus. Bahasa revolusi memang tepat untuk pertimahan di Bangka Belitung,” tukasnya.
HIP ke 6 diikuti sekitar 300 orang peserta yang terdiri dari berbagai elemen baik tokoh masyarakat, ormas, mahasisiwa, LSM, perwakilan media massa dan masyarakat umum lainnya. (Fakhruddin Halim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar