Pendahuluan
Bismillaahirrohmaanirrohiiim.
Tulisan
ini tidak bermaksud menjustifikasi seseorang atau suatu kelompok. Tulisan ini
dilatar belakangi pada sebuah “mimpi besar”, melihat dan hidup di daerah yang
aman, adil, dan sejahtera. Untuk itu, tulisan ini mencoba menggugah semua pihak
dan sekaligus menggagas rekayasa sosial sebagai strategi pemecahan masalah
dalam proses pembangunan daerah, khususnya Bangka Belitung. Rekayasa sosial
bermula dari inventarisasi permasalahan yang dihadapi, konflik kepentingan
berbagai pihak, harapan bersama untuk berubah ke arah yang positif, penentuan
strategi/model, dan perencanaan pembangunan yang berdampak pada perubahan
sosial yang terencana (planned social
change). Langkah ini dilakukan untuk menghindari dampak pembangunan
dan perubahan sosial yang tidak
terencana/tidak terkendali (unplanned
social change). Setuju atau tidak
atau sadar atau tidak, daerah Bangka Belitung telah dihadapkan pada masalah
yang serius, seperti kerusakan ekologi, ekosistem, ekonomi, dan sosial
budaya.
Rekayasa Sosial
Rekayasa sosial dapat diartikan sebagai
proses campur tangan manusia dan intervensi
berbagai kelompok secara total untuk merancang perubahan secara
terkendali. Senada dengan pengertian tersebut Adi Putra dan Anik Ambarwati
(2012) menjelaskan bahwa rekayasa sosial merupakan suatu upaya merubah kondisi
suatu kelompok, lembaga, organisasi, atau masyarakat kearah yang lebih baik dan
menguntungkan dengan berbagai macam pendekatan.
Penerapan pendekatan tersebut merupakan solusi sehingga proses perubahan
dapat terkendali. Perubahanpun relatif
lebih cepat dan terjadi secara alamiah.
Rekayasa sosial sebagai strategi
solusi alternatif, telah banyak dilakukan berbagai kalangan, baik bisnis,
pendidikan, peningkatan ekonomi maupun genetika. Pro-kontra rekayasa sosialpun
muncul. Sebagian kalangan memandang bahwa
rekayasa sosial memiliki dampak negatif. Namun sebagian lagi menganggap
bahwa rekayasa sosial dapat dijadikan sebagai solusi. Sedangkan dampak negatif
akan selalu muncul pada setiap penggunaan strategi/model pembangunan. Pada
tataran realitas, dampak negatif tersebut sebenarnya muncul sebagai “bias” dari
sebuah strategi/model yang tidak berjalan normal. Bahkan dampak negatif
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan, paling diminimalisasi. Rekayasa
sosial (social engeneering) dapat
meminimalisasi munculnya dampak negatif, asalkan semua proses dilakukan dan
diterapkan berdasarkan norma dan standar yang berlaku. Karena norma dan standar
menjadi kontrol dalam proses rekayasa sosial.
Bangka Belitung dan problematika
Dalam konteks pembangunan, Bangka
Belitung telah mengalami perkembangan pesat. Perkembangan tersebut “menggeliat”
setelah Bangka Belitung menjadi sebuah propinsi ke 31 yang “merdeka” dari
propinsi Sumatera Selatan tahun 2001. Bangka Belitung semakin populer sejak
legalisasi penambangan timah secara bebas oleh rakyat sejak 1998. Dampaknya
mobilitas menjadi tinggi, tempat mengadu nasib “pencari kerja” dari berbagai
daerah lain, dan terjadi perubahan dalam berbagai segmen kehidupan masyarakat,
baik ekonomi, sosial, dan budaya. Penambangan timah secara bebas telah
“membius” berbagai pihak, baik penduduk lokal maupun pendatang.
Seiring
dengan perkembangan waktu, beberbagai pandangan dan kebijakan pun muncul untuk
melakukan kontrol penambangan. Namun masyarakat –saya merasa yakin bahwa
penduduk Bangka Belitung menambang tidak mencapai 20 persen- seolah-olah tidak
lagi berpikir pada ekosistem dan lingkungannya. Jika pemerintah daerah
mengeluarkan kebijakan baru yang dianggap memperketat penambangan rakyat,
“rakyat” –entah rakyat yang mana-- serentak bersuara “kami menambang hanyalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup” atau “bagaimana kami mau makan jika kami tidak
diperbolehkan menambang”. Ungkapan ini
sesungguhnya hanyalah ungkapan “klise” karena sebelumnya juga rakyat luas belum
mengenal penambangan. Kerusakan lingkungan 15 tahun terakhir menjadi parah. Darat,
sungai, dan laut semakin hari semakin rusak. Kerusakan lingkungan (ekologi dan
ekosistem) akan semakin parah, jika semua pihak tidak mencari solusi. Kerusakan
tidak hanya dilihat dari lubang-lubang bekas penambangan, akan tetapi
lubang-lubang tersebut akan menimbulkan radio aktif yang akan merusak
kelangsungan hidup masyarakat Bangka Belitung.
Di
sisi lain kerusakan semakin diperparah oleh pembukaan areal perkebunan sawit
dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik perusahaan lokal
maupun perusahaan luar atas nama perusahaan lokal. Menurut Zulfikar (18/9/2011) kebun sawit akan
mematikan sumber-sumber air dan lahan menjadi semakin kritis. Karena sawit
adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya tanam-tanaman ini
sudah mengubah mindset pemikiran
masyarakat. Semakin menyedihkan lagi adalah pemerintah telah memberikan izin
HGU pembukaan perkebunan sawit secara besar besaran. Malaysia telah
memberhentikan pembukaan lahan kebun sawit, namun mereka bekerja sama dengan
pengusaha lokal untuk membuka lahan perkebunan di Babel. Pembukaan areal
perkebunaan tersebut cenderung tidak berpihak pada pengembangan ekonomi
kerakyatan. Perkebunan dan penguasaan tanah terkonsentrasi pada kelompok borju
dan kapitalis. Cepat atau lambat, pola
ini tentu akan menimbulkan krisis ekonomi, kecemburuan sosial, dan
masalah-masalah sosial lainnya.
Emil
Salim (19/11/2012), dalam acara Seminar Nasional Reklamasi dan Rehabilitasi
Hutan Pantai, Tambang/Lahan Kritis yang diselenggarakan Bappeda Bangka Belitung
dengan tema pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan pasca lahan kritis di
Babel, menyatakan bahwa mestinya eksploitasi sumber daya alam di Bangka
Belitung harus berkelanjutan. Kebijakan yang diambil bersifat pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Di satu sisi,
pertumbuhan ekonomi Babel cukup baik tapi pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti
oleh pertumbuhan lapangan kerja yang di sejumlah sektor terus menurun. Jika distribusi tenaga kerja hanya meningkat
di bidang keuangan dan jasa, bidang lainnya menurun, ini jadi “lampu kuning” (Emil
Salim, 2012), bahkan “lampu merah”.
Eksploitasi sumberdaya alam baik penambangan dan perkebunan yang berlebihan
tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem akan berakibat fatal. Kondisi
tersebut merupakan salah satu pemicu dan
sekaligus menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Permasalahan-permasalahan lain yang
timbul 20 puluh tahun terakhir juga melanda masalah-masalah sosial lain seperti
angka putus sekolah yang cukup tinggi, dekadensi moral, prilaku hidup konsumtif
dan pragmatis, hegemoni budaya, nilai-nilai kearifan lokal semakin melemah,
tingkat pengangguran semakin tinggi dan lain sebagainya. Maraknya TI dan
tingginya perputaran uang dari aktivitas itu dituding menjadi penyebab
munculnya penyakit masyarakat, yakni prostitusi dan kebiasaan minum minuman
keras. Bahkan, Bangka Belitung disinyalir menjadi salah satu tujuan perdagangan
manusia (trafficking) baru karena tingginya permintaan akan pekerja seks
komersial.
Permasalahan-permasalahan
ini tidak dapat diselesaikan satu persatu, tetapi harus diselesaikan secara
komprehensif. Semua komponen masyarakat perlu bersatu untuk mencari alternatif
solusi, sebelum semuanya bertambah fatal. Pemerintah daerah baik propinsi
maupun kabupaten-kabupaten/kota, perusahaan-perusahaan baik perusahaan “plat
merah” PT. Timah, Tbk maupun perusahaan-perusahaan swasta maupun masyarat
bersimbiotik mencari solusi. Solusi difokuskan pada upaya pencapaian
kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dan tatanan kehidupan masyarakat Bangka
Belitung yang madani (balada aamina wa
thoyyibatun wa robbun ghaffur).
Rekayasa Sosial dan Pembangunan Daerah
Bertitik tolak berbagai permasalahan
di atas, maka solusi alternatif yang dikedepankan adalah rekayasa sosial.
Strategi/model ini menjadi kerangka acuan membangun daerah Bangka Belitung. Rekayasa sosial
diperkuat dalam konstruksi grand desain Bangka
Belitung. Formulasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, termasuk berbagai
kebijakan populis. Rekayasa sosial dan grand
desain menjadi cetak biru (blue print)
pembangunan daerah yang harus ditaati. Campur tangan, intervensi, perencanaan,
dan pelaksanaan yang bersumber pada strategi rekayasa sosial akan mewarnai
pembangunan dan perubahan sosial yang terarah (planned social change). Bahkan Bottomore (1975) menjelaskan bahwa
pendekatan yang relevan dalam perekayasaan sosial dapat dilakukan melalui pendekatan kelembagaan. Institusi baik
mayarakat maupun swasta, apalagi pemerintah memegang kendali pengembangan
perekayasaan sosial untuk pembangunan daerah. Pemegang kekuasaan (centre power) dalam hal ini pemerintah
bersinergi dengan semua pihak untuk melakukan pembenahan pada semua aspek
kehidupan.
Untuk
itu rekayasa sosial dan penyusunan grand
desain daerah didasarkan pada permasalahan-permasalahan prinsip. Semua komponen dan bidang yang memiliki peran
penting harus memberi peran. Perekayasaan tersebut dapat dilakukan pada
beberapa bidang, yaitu:
Pertama,
pemerintah daerah bersama semua komponen perlu melakukan pemetaaan daerah.
Pemetaan ini dilakukan untuk memperoleh permasalahan-permasalahan yang krusial
dan akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan dan pembangunan daerah. Di
samping itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap program dan kebijakan
yang telah dikeluarkan pemerintah. Permasalahan yang timbul sangat dimungkinkan
bukan karena kekeliruan perorangan, kelompok atau suatu institusi, tetapi telah
terjadi kekeliruan/kesalahan sistem yang diberlakukan.
Kedua,
kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh penambangan dan pembukaan areal perkebunan sawit secara
besar-besaran harus dirubah kepala pola usaha yang ramah lingkungan. Kita harus
yakin bahwa kerusakan tersebut timbul karena ulah tangan-tangan kita yang tak
bertanggung jawab. Sikap yang arif adalah tidak saling menyalahkan. Semuanya
sudah salah. Mungkin sistemnya yang salah. Oleh karena itu sebelum semuanya
terlambat dan kata pepatah usang “alam yang terbentang ini bukan untuk
diwariskan kepada anak cucu, tetapi apa yang ada sekarang adalah warisan anak
cucu kita”.
Ketiga,
penguatan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Penambangan dan pembukaan lahan
perkebunan tidak berbasis kerakyatan, tapi justru akan menimbulkan krisis
ekonomi. Ke depan timah tidak dapat lagi dijadikan sebagai andalan pembangunan
ekonomi daerah. Oleh karena itu perekayasaan ekonomi kerakyatan perlu mendapat
perhatian serius. Bukankah daerah menjadi makmur, apabila ekonomi rakyat
membaik.
Keempat,
dunia pendidikan dengan semua jenis dan jenjang menjadi media transfer
nilai-nilai sosial, budaya, dan agama. Bahkan stabilitas ekonomi juga
ditentukan oleh dunia pendidikan. Rekayasa kesinambungan nilai perlu dilakukan
sehingga perubahan yang terjadi sesuai
dengan substansi nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dinamika perubahan nilai
tidak dapat ditahan, akan tetapi perubahan yang diharapkan hanya pada tataran hal-hal
teknis bukan pada substansi nilai.
Dekadensi moral, hegemoni budaya, dan prilaku dapat direkayasa melalui proses
pendidikan baik dalam tataran rumah tangga, masyarakat, maupun dunia
persekolahan.
Di
samping empat hal di atas, masih banyak yang perlu dilakukan. Yang terpenting
adalah menyatukan persepsi dan sudut kepentingan. Tujuannya adalah membangun
daerah menjadi balada aamina thoyyibatun
wa robbun ghaffur.
Berdasarkan uraian di atas, rekayasa
sosial dapat dijadikan sebagai solusi alternatif untuk memecahkan berbagai
permasalahan krusial yang dapat merusakkan
keberlangsungan kehidupan. Rekayasa sosial dimulai dari memetakan permasalahan,
menginventarisasi masalah, menentukan strategi, melaksanakan strategi, dan
terus melakukan evaluasi. Rekayasa sosial menjadi efektif, apabila semua
tahapan berjalan baik. Rekayasa sosial pada akhirnya dapat dijadikan sebagai
inspirasi menyusun grand desain pembangunan
daerah. Untuk itu semua komponen harus bersinergi dan berpikir untuk
pembangunan daerah bukan didasarkan pada kepentingan perorangan maupun kelompok
tertentu. Semoga PT. Timah, Tbk sebagai perusahaan “plat merah” dapat menjadi
pioner dan penggerak pembangunan. Semoga tulisan ini dapat membuka mata,
telinga, dan mata hati bahwa kita adalah khalifah
di muka bumi. Sebagai khalifah kita
diberi amanah untuk mengelola alam semesta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar