Selasa, 26 Maret 2013

LAMPU MERAH Itu KRISIS




Sebagai perusahaan pemegang Izin Usaha Penambangan terbesar, keberadaan PT Timah menjadi  ancaman bagi  banyak  kompetitor di sekelilingnya. Sejumlah upaya sistematis dijalankan untuk mengerdilkan eksistensi BUMN ini. Target jangka pendeknya ; menghilangkan dominasi / superioritas PT Timah dalam dunia pertambangan timah di Indonesia dan juga dunia. Sedangkan target akhirnya; mematikan kelangsungan hidup BUMN ini di bumi Bangka Belitung.
Penjarahan WIUP milik PT Timah menjadi salah satu modus yang dijalankan. Sejumlah area IUP yang potensial dan produktif disikat habis-habisan untuk kemudian ditinggal begitu saja dengan kondisi lingkungan yang mengenaskan. Belum lagi upaya-upaya penyelundupan bijih timah yang dijalankan dengan sangat sistematis. Alhasil, dengan jumlah IUP yang sangat kecil dari total jumlah luas IUP milik PT Timah, para kompetitor justru mampu berproduksi jauh di atas PT Timah selaku pemilik IUP terbesar.
Data tahun 2008 menunjukkan ekspor PT Timah sebanyak 46.438 mton, PT Kobatin 6.623 mton, smelter swasta sebanyak 32.836 mton. Tahun 2009 ekspor PT Timah sebanyak 49.240 mton, PT Kobatin 7.337 mton, dan smelter swasta sebanyak 44.921 mton. Sementara tahun 2010 ekspor PT Timah sebesar 40.302 mton, PT Kobatin 6.900 mton, adapun smelter swasta 32.987 mton.
Kenyataan di atas sangat ironis jika dibandingkan dengan luasan IUP yang dimiliki PT Timah dengan perusahaan kompetitor lainnya. Data tahun 2010  luas IUP PT Timah 473.800 ha (89 %), PT Kobatin 41.680 (8%), sedangkan kompetitor lain di luar kedua perusahaan itu hanya 16. 884 ha. Namun lihat dari jumlah produkstivitas yang mereka hasilkan, sangat tidak rasional dengan luasan IUP yang mereka kelola.
Kondisi BUMN ini juga semakin berdarah-darah karena selain dijarah, sejumlah lokasi produktif PT Timah juga berada di lokasi yang bermasalah seperti di Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP), ditindih perkebunan kelapa sawit dan overlap dengan sarana umum dan pemukiman masyarakat. Tahun 2011 setidaknya terdapat 125,216 hektar luas IUP Perusahaan yang bermasalah di lahan-lahan tersebut. Praktis, lokasi yang aman untuk ditambang di darat hanya 30 % !.
Beragam pola alias akal-akalan dijalankan para kompetitor PT Timah. Selain menggerogoti IUP produktif, mereka juga memakai perpanjangan tangan para kolektor untuk membeli atau menarik bijih timah dari mitra PT Timah. Para mitra ini secara sembunyi-sembunyi membeli timah dari masyarakat  penambang yang menambang di lahan APL IUP PT Timah. Tentu saja mitra-mitra gelap ini membeli dengan harga lebih tinggi dari harga yang dipatok PT Timah. Dengan modal yang berlimpah karena didanai oleh jaringan asing, mereka mampu membeli timah secara langsung dan tunai. Cash and carry !
Para kompetitor ini juga disinyalir menjalin kerjasama dengan oknum aparat yang mem-backing atau bahkan ikut menambang secara ilegal di wilayah Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi dimana WIUP PT Timah berada. Kedekatan dengan oknum aparat juga menjadi senjata ampuh para kompetitor dalam menjalankan bisnis terlarangnya. Terbukti, setiap ada informasi akan ada penertiban dari pusat di wilayah penambangan yang dilarang, para kompetitor ini telah mengetahui terlebih dahulu sehingga dengan cepat mereka mengamankan semua peralatan tambang dan menghentikan aktifitasnya serta meninggalkan areal tambang.
Sistem bekerja para kompetitor ini dalam upaya untuk mendapatkan dan mengangkut bijih timah juga sangat rapi. Dari salah satu sumber yang diperoleh Stannia, biasanya timah yang telah dihimpun oleh kolektor diangkut dengan truk pada malam hari agar bebas dari penyetopan aparat yang bertugas secara resmi. Sering kali dalam pengangkutan timah tersebut oknum aparat justru ikut mengawal barang-barang ilegal tersebut.
Selain beberapa modus di atas, ada juga modus berupa upaya mengaburkan data-data ekspor terhadap produk ekspor yang bersangkutan.
Hal yang tidak jauh berbeda juga berlaku di area penambangan lepas pantai. Bukan rahasia umum lagi kalau di sekitaran kapal keruk milik PT Timah dikelilingi ratusan TI apung masyarakat. Ini jelas ilegal karena selain memang menambang di area IUP PT Timah, keberadaan TI-TI apung tersebut sangat mengganggu operasional kapal keruk. Kalaupun TI Apung diperbolehkan menambang di area IUP PT Timah, setidaknya jarak yang harus dijaga dari kapal keruk harus dalam radius sekian ratus meter.

EKSPOR TIMAH ILEGAL MAKIN MARAK
Situasi di atas dipekuat dengan pandangan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengenai carut marutnya dunia pertimahan di Bangka Belitung. Dalam pernyataannya di hadapan jurnalis nasional di Jakarta pada Jumat tanggal 8 Maret lalu, Marwan mendesak pemerintah untuk segera menindak oknum aparat serta pengusaha nakal yang terlibat dalam praktik penyelundupan timah di Provinsi Bangka Belitung.
Menurut Marwan, praktik-praktik penyelundupan timah untuk menghindari pembayaran royalti ekspor ke negara maupun daerah penghasil merupakan penyakit lama yang hingga kini belum bisa diberantas oleh pemerintah. "Buktinya, smelter di Malaysia dan Singapura masih terus berproduksi. Padahal seharusnya sekarang mereka sudah tidak bisa berproduksi lagi karena bahan bakunya selama ini dipasok dari Provinsi Bangka Belitung," ujar Marwan.
Ini merupakan bukti lemahnya law enforcement, yang pada akhirnya merugikan pemerintah dan pengusaha yang selama ini taat aturan. Karena itu, sejumlah pengusaha yang selama ini secara tertib membayar royalti, berharap agar Permendag No 78/2012 diawasi dengan benar.  Pengawasan antara lain dilakukan dengan memberikan izin ekspor hanya kepada perusahaan yang melampirkan bukti pembayaran royalti dari Surveyor Indonesia dan Sucofindo.
Dia juga mengritisi kebijakan pemerintah terkait minerba yang selama ini hanya fokus pada pertumbuhan ekspor, bukan pada sistem pengelolaan dan pengendalian cadangan minerba yang dimiliki Indonesia.
"Khusus untuk timah, data 2006 cadangan yang kita miliki sebesar 900 ribu ton. Kalau setiap tahunnya diekspor sebesar 60 ribu sampai 90 ribu ton, maka cadangan yang kita miliki saat ini hanya tersisa untuk 10 hingga 12 tahun ke depan. Kalau tidak dikelola dengan benar, potensi timah yang ada di Indonesia akan terus dinikmati oleh negara-negara lain," ungkapnya.
KRISIS......KRISIS !!
Dengan gambaran di atas, sebagai institusi korporasi yang begitu identik dengan sejarah penambangan dan kejayaan timah di Indonesia, sangat jelas bahwa posisi PT Timah semakin terjepit. Belum lagi dengan berlakunya sejumlah regulasi yang pada satu sisi justru semakin mempersulit ruang gerak perusahaan ini.
Dengan realitas-realitas di atas pula, rasa-rasanya aneh jika selaku karyawan kita tidak memiliki 'kecemasan' atau bahkan 'ketakutan' akan masa depan perusahaan ini.
Buka mata, buka telinga, buka hati dan pikiran kita semua bahwa masa depan dan kondisi perusahaan sudah dalam kondisi LAMPU MERAH.

Tidak ada komentar: