Senin, 04 Februari 2013

Rekayasa Sosial: Strategi Pemecahan Masalah dalam Pembangunan Daerah Oleh: Janawi




Pendahuluan
Bismillaahirrohmaanirrohiiim. Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi seseorang atau suatu kelompok. Tulisan ini dilatar belakangi pada sebuah “mimpi besar”, melihat dan hidup di daerah yang aman, adil, dan sejahtera. Untuk itu, tulisan ini mencoba menggugah semua pihak dan sekaligus menggagas rekayasa sosial sebagai strategi pemecahan masalah dalam proses pembangunan daerah, khususnya Bangka Belitung. Rekayasa sosial bermula dari inventarisasi permasalahan yang dihadapi, konflik kepentingan berbagai pihak, harapan bersama untuk berubah ke arah yang positif, penentuan strategi/model, dan perencanaan pembangunan yang berdampak pada perubahan sosial yang terencana (planned social change). Langkah ini dilakukan untuk menghindari dampak pembangunan dan  perubahan sosial yang tidak terencana/tidak terkendali (unplanned social change). Setuju atau tidak atau sadar atau tidak, daerah Bangka Belitung telah dihadapkan pada masalah yang serius,  seperti kerusakan  ekologi, ekosistem, ekonomi, dan sosial budaya.

Rekayasa Sosial
Rekayasa sosial dapat diartikan sebagai proses campur tangan manusia dan intervensi  berbagai kelompok secara total untuk merancang perubahan secara terkendali. Senada dengan pengertian tersebut Adi Putra dan Anik Ambarwati (2012) menjelaskan bahwa rekayasa sosial merupakan suatu upaya merubah kondisi suatu kelompok, lembaga, organisasi, atau masyarakat kearah yang lebih baik dan menguntungkan dengan berbagai macam pendekatan.  Penerapan pendekatan tersebut merupakan solusi sehingga proses perubahan dapat terkendali. Perubahanpun  relatif lebih cepat dan terjadi secara alamiah.
            Rekayasa sosial sebagai strategi solusi alternatif, telah banyak dilakukan berbagai kalangan, baik bisnis, pendidikan, peningkatan ekonomi maupun genetika. Pro-kontra rekayasa sosialpun muncul. Sebagian kalangan memandang bahwa  rekayasa sosial memiliki dampak negatif. Namun sebagian lagi menganggap bahwa rekayasa sosial dapat dijadikan sebagai solusi. Sedangkan dampak negatif akan selalu muncul pada setiap penggunaan strategi/model pembangunan. Pada tataran realitas, dampak negatif tersebut sebenarnya muncul sebagai “bias” dari sebuah strategi/model yang tidak berjalan normal. Bahkan dampak negatif merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan, paling diminimalisasi. Rekayasa sosial (social engeneering) dapat meminimalisasi munculnya dampak negatif, asalkan semua proses dilakukan dan diterapkan berdasarkan norma dan standar yang berlaku. Karena norma dan standar menjadi kontrol dalam proses rekayasa sosial.

Bangka Belitung dan problematika
Dalam konteks pembangunan, Bangka Belitung telah mengalami perkembangan pesat. Perkembangan tersebut “menggeliat” setelah Bangka Belitung menjadi sebuah propinsi ke 31 yang “merdeka” dari propinsi Sumatera Selatan tahun 2001. Bangka Belitung semakin populer sejak legalisasi penambangan timah secara bebas oleh rakyat sejak 1998. Dampaknya mobilitas menjadi tinggi, tempat mengadu nasib “pencari kerja” dari berbagai daerah lain, dan terjadi perubahan dalam berbagai segmen kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan budaya. Penambangan timah secara bebas telah “membius” berbagai pihak, baik penduduk lokal maupun pendatang.
Seiring dengan perkembangan waktu, beberbagai pandangan dan kebijakan pun muncul untuk melakukan kontrol penambangan. Namun masyarakat –saya merasa yakin bahwa penduduk Bangka Belitung menambang tidak mencapai 20 persen- seolah-olah tidak lagi berpikir pada ekosistem dan lingkungannya. Jika pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan baru yang dianggap memperketat penambangan rakyat, “rakyat” –entah rakyat yang mana-- serentak bersuara “kami menambang hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup” atau “bagaimana kami mau makan jika kami tidak diperbolehkan menambang”.  Ungkapan ini sesungguhnya hanyalah ungkapan “klise” karena sebelumnya juga rakyat luas belum mengenal penambangan. Kerusakan lingkungan 15 tahun terakhir menjadi parah. Darat, sungai, dan laut semakin hari semakin rusak. Kerusakan lingkungan (ekologi dan ekosistem) akan semakin parah, jika semua pihak tidak mencari solusi. Kerusakan tidak hanya dilihat dari lubang-lubang bekas penambangan, akan tetapi lubang-lubang tersebut akan menimbulkan radio aktif yang akan merusak kelangsungan hidup masyarakat Bangka Belitung.
Di sisi lain kerusakan semakin diperparah oleh pembukaan areal perkebunan sawit dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan swasta, baik perusahaan lokal maupun perusahaan luar atas nama perusahaan lokal.  Menurut Zulfikar (18/9/2011) kebun sawit akan mematikan sumber-sumber air dan lahan menjadi semakin kritis. Karena sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air. Ironisnya tanam-tanaman ini sudah mengubah mindset pemikiran masyarakat. Semakin menyedihkan lagi adalah pemerintah telah memberikan izin HGU pembukaan perkebunan sawit secara besar besaran. Malaysia telah memberhentikan pembukaan lahan kebun sawit, namun mereka bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk membuka lahan perkebunan di Babel. Pembukaan areal perkebunaan tersebut cenderung tidak berpihak pada pengembangan ekonomi kerakyatan. Perkebunan dan penguasaan tanah terkonsentrasi pada kelompok borju dan kapitalis. Cepat atau lambat, pola  ini tentu akan menimbulkan krisis ekonomi, kecemburuan sosial, dan masalah-masalah sosial lainnya.
Emil Salim (19/11/2012), dalam acara Seminar Nasional Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan Pantai, Tambang/Lahan Kritis yang diselenggarakan Bappeda Bangka Belitung dengan tema pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan pasca lahan kritis di Babel, menyatakan bahwa mestinya eksploitasi sumber daya alam di Bangka Belitung harus berkelanjutan. Kebijakan yang diambil bersifat pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi Babel cukup baik tapi pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti oleh pertumbuhan lapangan kerja yang di sejumlah sektor terus menurun.  Jika distribusi tenaga kerja hanya meningkat di bidang keuangan dan jasa, bidang lainnya menurun, ini jadi “lampu kuning” (Emil Salim, 2012), bahkan  “lampu merah”. Eksploitasi sumberdaya alam baik penambangan dan perkebunan yang berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem akan berakibat fatal. Kondisi tersebut  merupakan salah satu pemicu dan sekaligus menjadi penyebab kerusakan lingkungan. 
Permasalahan-permasalahan lain yang timbul 20 puluh tahun terakhir juga melanda masalah-masalah sosial lain seperti angka putus sekolah yang cukup tinggi, dekadensi moral, prilaku hidup konsumtif dan pragmatis, hegemoni budaya, nilai-nilai kearifan lokal semakin melemah, tingkat pengangguran semakin tinggi dan lain sebagainya. Maraknya TI dan tingginya perputaran uang dari aktivitas itu dituding menjadi penyebab munculnya penyakit masyarakat, yakni prostitusi dan kebiasaan minum minuman keras. Bahkan, Bangka Belitung disinyalir menjadi salah satu tujuan perdagangan manusia (trafficking) baru karena tingginya permintaan akan pekerja seks komersial.
Permasalahan-permasalahan ini tidak dapat diselesaikan satu persatu, tetapi harus diselesaikan secara komprehensif. Semua komponen masyarakat perlu bersatu untuk mencari alternatif solusi, sebelum semuanya bertambah fatal. Pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten-kabupaten/kota, perusahaan-perusahaan baik perusahaan “plat merah” PT. Timah, Tbk maupun perusahaan-perusahaan swasta maupun masyarat bersimbiotik mencari solusi. Solusi difokuskan pada upaya pencapaian kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dan tatanan kehidupan masyarakat Bangka Belitung yang madani (balada aamina wa thoyyibatun wa robbun ghaffur).

Rekayasa Sosial dan Pembangunan Daerah
            Bertitik tolak berbagai permasalahan di atas, maka solusi alternatif yang dikedepankan adalah rekayasa sosial. Strategi/model ini menjadi kerangka acuan membangun  daerah Bangka Belitung. Rekayasa sosial diperkuat dalam konstruksi grand desain Bangka Belitung. Formulasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, termasuk berbagai kebijakan populis. Rekayasa sosial dan grand desain menjadi cetak biru (blue print) pembangunan daerah yang harus ditaati. Campur tangan, intervensi, perencanaan, dan pelaksanaan yang bersumber pada strategi rekayasa sosial akan mewarnai pembangunan dan perubahan sosial yang terarah (planned social change). Bahkan Bottomore (1975) menjelaskan bahwa pendekatan yang relevan dalam perekayasaan sosial dapat dilakukan melalui  pendekatan kelembagaan. Institusi baik mayarakat maupun swasta, apalagi pemerintah memegang kendali pengembangan perekayasaan sosial untuk pembangunan daerah. Pemegang kekuasaan (centre power) dalam hal ini pemerintah bersinergi dengan semua pihak untuk melakukan pembenahan pada semua aspek kehidupan.
Untuk itu rekayasa sosial dan penyusunan grand desain daerah didasarkan pada permasalahan-permasalahan prinsip. Semua  komponen dan bidang yang memiliki peran penting harus memberi peran. Perekayasaan tersebut dapat dilakukan pada beberapa bidang, yaitu:
            Pertama, pemerintah daerah bersama semua komponen perlu melakukan pemetaaan daerah. Pemetaan ini dilakukan untuk memperoleh permasalahan-permasalahan yang krusial dan akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan dan pembangunan daerah. Di samping itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap program dan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Permasalahan yang timbul sangat dimungkinkan bukan karena kekeliruan perorangan, kelompok atau suatu institusi, tetapi telah terjadi kekeliruan/kesalahan sistem yang diberlakukan.
            Kedua,   kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan dan pembukaan areal perkebunan sawit secara besar-besaran harus dirubah kepala pola usaha yang ramah lingkungan. Kita harus yakin bahwa kerusakan tersebut timbul karena ulah tangan-tangan kita yang tak bertanggung jawab. Sikap yang arif adalah tidak saling menyalahkan. Semuanya sudah salah. Mungkin sistemnya yang salah. Oleh karena itu sebelum semuanya terlambat dan kata pepatah usang “alam yang terbentang ini bukan untuk diwariskan kepada anak cucu, tetapi apa yang ada sekarang adalah warisan anak cucu kita”.
            Ketiga, penguatan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Penambangan dan pembukaan lahan perkebunan tidak berbasis kerakyatan, tapi justru akan menimbulkan krisis ekonomi. Ke depan timah tidak dapat lagi dijadikan sebagai andalan pembangunan ekonomi daerah. Oleh karena itu perekayasaan ekonomi kerakyatan perlu mendapat perhatian serius. Bukankah daerah menjadi makmur, apabila ekonomi rakyat membaik.
            Keempat, dunia pendidikan dengan semua jenis dan jenjang menjadi media transfer nilai-nilai sosial, budaya, dan agama. Bahkan stabilitas ekonomi juga ditentukan oleh dunia pendidikan. Rekayasa kesinambungan nilai perlu dilakukan sehingga  perubahan yang terjadi sesuai dengan substansi nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dinamika perubahan nilai tidak dapat ditahan, akan tetapi perubahan yang diharapkan hanya pada tataran hal-hal teknis  bukan pada substansi nilai. Dekadensi moral, hegemoni budaya, dan prilaku dapat direkayasa melalui proses pendidikan baik dalam tataran rumah tangga, masyarakat, maupun dunia persekolahan.
Di samping empat hal di atas, masih banyak yang perlu dilakukan. Yang terpenting adalah menyatukan persepsi dan sudut kepentingan. Tujuannya adalah membangun daerah menjadi balada aamina thoyyibatun wa robbun ghaffur.

Penutup
            Berdasarkan uraian di atas, rekayasa sosial dapat dijadikan sebagai solusi alternatif untuk memecahkan berbagai permasalahan krusial yang dapat merusakkan keberlangsungan kehidupan. Rekayasa sosial dimulai dari memetakan permasalahan, menginventarisasi masalah, menentukan strategi, melaksanakan strategi, dan terus melakukan evaluasi. Rekayasa sosial menjadi efektif, apabila semua tahapan berjalan baik. Rekayasa sosial pada akhirnya dapat dijadikan sebagai inspirasi menyusun grand desain pembangunan daerah. Untuk itu semua komponen harus bersinergi dan berpikir untuk pembangunan daerah bukan didasarkan pada kepentingan perorangan maupun kelompok tertentu. Semoga PT. Timah, Tbk sebagai perusahaan “plat merah” dapat menjadi pioner dan penggerak pembangunan. Semoga tulisan ini dapat membuka mata, telinga, dan mata hati bahwa kita adalah khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah kita diberi amanah untuk mengelola alam semesta ini.


[1]Wacana awal untuk bahan renungan bahwa Banga Belitung adalah warisan anak cucu kita
[2]Penulis adalah Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

Tidak ada komentar: