Rabu, 09 Januari 2008

ALAM DAN LINGKUNGAN, TANGGUNG JAWAB SIAPA?


M. Ikhsan Ghozali
M. Wirtsa Firdaus

Alam dan Lingkungan di antara Keterbatasan dan Kebutuhan
Dari judul di atas, setidaknya ada dua hal yang hendak ditegaskan di sini, yaitu: (1) lingkungan hidup perlu ditangani secara serius, dan (2) keterlibatan masyarakat dalam permasalahan lingkungan masih rendah sehingga perlu ditingkatkan. Lalu muncul pertanyaan “siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas masalah lingkungan hidup? bagaimana posisi dan peran masyarakat atas masalah tersebut ? Dan apa saja yang bisa dan harus dilakukan?”
Pertanyaan di atas bisa jadi membuat kita limbung. Mengapa? Sebab, kalau mau jujur, sebenarnya kita saat ini belum memiliki pemahaman yang cukup, apalagi sikap dan rencana atas alam dan lingkungan ini. Kalau pun ada, barangkali hanya kebetulan semata, karena apa yang kita lakukan biasanya cenderung responsif, kurang terencana, sporadis, dan temporal alias tidak berkelanjutan.
Disadari atau tidak, pemahaman manusia atas alam dan lingkungan selalu berubah dalam ruang dan waktu akibat pengaruh tingkat “kemampuan” olah pikir dan “kebutuhan” hidup manusia. Di awal peradabannya, manusia mampu hidup secara harmonis sebagai bagian dari alam tersebut. Berbagai kebutuhan hidup manusia tercukupi karena alam memang dicadangkan sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia, walaupun tanpa dikelola. Namun seiring perkembangan waktu, alam kemudian diubah, disesuaikan dengan keinginan manusia untuk mencukupi kebutuhannya, yakni dengan melakukan eksploitasi. Sayangnya, dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut asas keserasian dan keseimbangan seringkali diabaikan. Sumber-sumber alam dikuras habis akibat perilaku yang tidak ramah alam dan lingkungan, yang lebih mengedepankan keinginan bukannya kebutuhan.
Ironisnya, kebijakan yang menyisakan sedikit harapan ternyata tidak bisa dijadikan sandaran. Akibat tuntutan kebutuhan yang terus meningkat, para pengambil kebijakan di negeri ini seringkali tidak mampu mempertahankan asas keseimbangan tersebut. Bahkan proses degradasi lingkungan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam terus berlanjut dan sepertinya semakin menjadi. Hasilnya, langsung atau tidak langsung, telah menjadi fenomena menyedihkan yang menimpa alam dan lingkungan negeri ini. Ironisnya, kita cenderung tidak merasa rugi atau kehilangan atas kerusakan lingkungan itu, dan kesadaran kita baru muncul ketika berbagai bencana hadir di hadapan kita.
Kebakaran berkepanjangan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera jelas bukan karena El-Nino yang ke sana ke mari menyulutkan korek api. Atau tenggelamnya banyak kampung di berbagai daerah akibat banjir dan longsor juga bukan semata-mata karena hujan berlebihan. Demikian pula banyaknya penduduk yang mati terlantar (misalnya di Yakohimo) pun tentunya bukanlah akibat kekeringan dan gagal panen semata. Tapi semuanya karena memang kita yang menginginkan dan melakukannya, secara sadar maupun tidak.
Coba bayangkan, seandainya lingkungan itu adalah rumah kita, maka alam itu ibarat halaman rumah. Sebagai penikmat sekaligus pengguna halaman rumah, tentunya kita tidak akan tinggal diam ketika halaman rumah itu kotor. Yang kita lakukan adalah mengambil sapu, membersihkan sampah yang mengotori halaman rumah kita. Sayangnya, kita tidak tahu persis, sebenarnya sampah yang tersebar di halaman rumah itu mau dikemanakan dan mau diapakan. Bahkan lebih-lebih (mungkin) kita pun tidak pernah punya pikiran (apalagi keinginan dan kemauan) untuk memanfaatkan halaman rumah itu menjadi misalnya kebun tanaman obat atau persemaian tanaman langka. Jadi jangan coba menanyakan tentang hal-hal yang lebih ruwet lagi, misalnya bagaimana jika ada yang memporak-porandakan halam itu dengan lobang-lobang galian yang lebar dan dalam atau membuang limbah bahan berbahaya dan beracun.
Lantas, apakah kita bertanggungjawab atas halaman rumah kita? Apa sikap dan rencana yang akan kita lakukan atas rumah dan halaman rumah kita itu? Sepertinya ada ketakutan (baca: keengganan) ketika kita berniat dan menggebu-gebu ingin berperan, atau sedikitnya bersikap, dalam mengelola rumah dan halaman rumah itu. Kita mungkin terlambat dan kehilangan halaman yang selama ini kita nikmati sebagai tempat bermain. Namun kita jangan sampai menjadi lebih konyol karena kehilangan rumah, baik akibat tidak (bisa) memeliharanya atau karena ketidakpedulian kita.

Idealisme yang Tertinggal
Siapakah kita? Apakah kita tergolong dalam kelompok makhluk hedonis, yang hanya mementingkan keinginan sendiri, meskipun harus mengorbankan kelestarian alam dan lingkungan? Atau kita sekelompok manusia yang hanya jalan-jalan ke luar rumah untuk menikmati pemandangan alam sembari menghirup udara segar, tanpa pernah peduli mengapa itu semua bisa terus-terusan kita nikmati sampai sekarang?
Anggaplah kita tidak hedonis, tapi pernahkah kita memiliki niat untuk “berbakti” pada alam yang selalu kita nikmati itu. Kalaupun ada, (mungkin) sifatnya tak lebih dari formalitas belaka, sekedar memenuhi aturan hukum dan tuntutan sopan santun. Jadi, jika kita tidak hedonis, tentunya kita mempunyai idealisme (yang kuat) untuk tetap melestarikan alam dan lingkungan tempat kita hidup dan bermain ini. Namun idealisme tersebut tidak hanya sekedar idealisme hati, namun perlu dinyatakan dalam buah pikiran jernih untuk selanjutnya diwujudkan dalam tindakan-tindakan nyata yang terencana dan teroganisir.
Jadi, apa yang sudah kita lakukan? Jika kita belum melakukan apa-apa, tentunya kita punya andil dalam kekeliruan ini, walaupun tidak seluruhnya. Kita pun sepertinya masih merasa nyaman-nyaman saja atas berbagai permasalahan alam dan lingkungan karena dampaknya tidak kita rasakan langsung. Padahal, jika kita sadari, sebenarnya banyak hal yang dapat kita lakukan, sendiri atau bersama-sama, untuk menyikapi dan menyelesaikan permasalahan alam dan lingkungan yang ada di sekitar kita. Dan yakinlah bahwa kita tidak akan pernah kekurangan permasalahan itu, baik dengan pendekatan personal maupun komunal, atau sektoral/lokal, regional, maupun nasional.
Baru-baru ini, ada sedikit angin segar yang berhembus. “Bak gerimis di musim kemarau” berdirinya Yayasan Babel Hijau (The Green Babel Fondation) sedikit banyaknya menawarkan harapan baru, yakni hidup yang lebih berarti. Keberadaannya diharapkan menjadi pintu masuk menuju kesadaran dan kepedulian kita. Permasalahannya adalah apakah Green Babel akan tetap konsisten dengan idiologi dan visi yang diusungnya, dan kita mau berperan aktif. Sebab jika tidak, maka selesailah sudah. Biarlah halaman rumah kita diurus dan dimanfaatkan orang lain. Namun jangan pernah merasa terganggu dan mencoba menggugat seandainya kita tidak bisa bermain dan hidup di halaman itu lagi.
Mengingat permasalahan alam dan lingkungan sudah sedemikian kompleks dan luas cakupan wilayahnya, maka kita semua perlu merapatkan barisan dalam memerangi aktivitas perusakan alam dan lingkungan. Green Babel sendiri diharapkan mampu menjadi motivator, fasilitator, inovator, dan motor penggerak dalam gerakan pelestarian alam dan lingkungan. Untuk itu, masing-masing pihak perlu membiasakan untuk berpikir global dan bertindak lokal. Artinya, sebagai sebuah gerakan, kita harus terus-terusan memantau perkembangan isu-isu global terkait dengan permasalahan alam dan lingkungan agar tidak ketinggalan. Meskipun demikian kita pun harus tetap realistis, tidak abstrak ataupun muluk-muluk, terbebas dari kepentingan politik manapun, dan membumi (sesuai dengan karakter budaya lokal) sehingga benar-benar membawa hasil yang nyata bagi keberlanjutan hidup bersama. Memang bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti menjadi mustahil. Jadi, semuanya dikembalikan ke diri kita masing-masing, apakah kita mau, kapan kita memulai, dan bagaimana kita memulainya. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Mari singsingkan lengan baju dan tinggalkan atribut masing-masing untuk keberlanjutan hidup. Bagaimana?

Tidak ada komentar: