Senin, 14 Januari 2008

CATATAN THE GREENERS DARI PUNCAK JAYA WIJAYA




Perjalanan para anggota Yayasan Babel Hijau yang dikenal dengan sebutan The Greenrs Ke puncaj Pegunungan Jayawijaya berlatar belakang kunjungan The Greeners ke Kementerian Lingkungan Hidup.

Pada pertengahan September 2007 dalam pertemuan Pengurus yayasan Babel Hijau (melaporkan dan mensosialisasikan keberadaan yayasan) dengan beberapa staff Kementerian Lingkungan Hidup telah terjadi diskusi.
Diskusi berkisar tentang lingkunagn dari kondisi Babel yang kritis, perusahaan tembang di Babel yang tak becus dalam melakukan penambangan, maraknya semelter yang tak bertanggungjawab terhadap lingkungan bahkan asmpai kepad pimimpin darah yang ikut ikutan memberi su,bangan terhadap kerusakan lingkungan tersebut.

Akhir dialog tersebut tanpa memiliki titik temu, masing-masing bertahan dengan argument dan pemikiran masing-masing, akhirnya staff kementerian Lingkungan Hidup menawarkan kepada The Greeners untuk melihat bentuk penambangan yang secara teknis penambangan dapat dikatakan layak dan memenuhi kreteria pengelolaan lingkungan yang pasti rusak sebagai akibat pengelolaan kegiatan penambangan.

PT Preeport Indonesia (PTFI) sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di ketinggian 4200 meter dari permukaan laut di daerah Timika Irianjaya akhirnya menjadi pilihan dan pihak Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Fasilitator kunjungan The Greeners ke perusahaan tersebut.

PT Feeport Indonesia
Perusahaan tambang tembaga dan emas yang telah beroperasi sejak akhir tahun 1960an di kawasan pegunungan Jayawijaya yaitu Erstberg dan Grasberg di ketinggian 4.200 meter.Kontrak kerja baru yang telah ditandatangani mensyaratkan PT Feeport Indonesia untuk terus menambang hingga akhir 2020 dan tambahan perpanjangan hingga 2 kali 10 tahun.

Saat ini PTFI adalah perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di Indonesia bahkan dunia dengan mengantongi izin 300.000 ton pemindahan tanah atau konsentrat per hari berarti mereka telah mampu melakukan penggalian sebesar 225.000 ton perhari berarti meekan dalam setahun pemindahan tanahnya sebesar 81 Juta ton dengan kosentrat emas tembaga 3% mereka menghasilkan lebih dari 2,43 juta ton kosentrat per tahun.Bisa dibayangkan, dengan demikian tedapat tailing yang harus dikelola sebanyak 78 Juta ton per tahun.

Pengelolaan tailing PTFI dengan jumlah yang demikian besar tentunya memerlukan penanganan khusus.Oleh PTFI tailing dialirkan ke dataran rendah melalui aliran sungai Ajkwa dan dikumpulkan dalam satu lokasi yang luasnya sebesar 230 km2. Wow tentu bukan pekerjaan main-main karena luasnya lebih sari separuh luas DKI Jakarta.
Manajemen Tailing PTFI
PTFI telah mengelola pasir sisa tambangnya (sirsat) dengan sangat baik di areal ModADA.Pemisahan tailing dari sumber air masyarakat melalui pembuatan tanggul (Levee) sepanjang 54 km disisi timur dan barat sangat efektif.

Pembuatan levee ini sangat penting, ketersediaan air yang merupakan sumber kehidupan masyarakat timika menjadi bertambah baik karena sungai Aijkwa yang tadinya begabung menjadi satu dengan sungai Otomona di ModADA telah dipisahkan sehingga menjadi lebih jernih karena tak lagi tercemar.

Dalam penampungan srsat itu sendiri diatur sedemikian rupa dengan pemasangan Grabion Groundsil (bronjong) yaitu dam penahan sirsat yang membentang dari sisi levee barat samapai levee timur di hulu ModADA sehingga dapat meminimalisasi sirsat yang hanyut ke laut.Groin dan Crib (sodetan) pun di buat untuk mengatur penumpukan tailing di sepanjang daerah aliran ModADA seluas 230km2 tersebut.

Sekilas Babel dan Timika
Jika membandingkan penambangan emas dan tembaga di timika dengan penambangan Timah di Babel ibarat bumi dan langit.Hutan dan bukit dibabel tidak selebat dan setinggi hutan dan gunung di Papua.
Kondisi ini menyebabkan terjadi perbedaan penambangan untuk mendapatkan bijih mineral.Dibabel untuk mendapatkan bijih timah masyarakat cukup menggunakan cangkul bahkan dengan menggunakan dulang.Sedangkan para pengusaha dengan modal yang kuat menggunakan eskavator lalu timah yang didapat diolah itupun masih dengan teknologi yang sederhana, pasir yang didapat kemudian diolah dan timah siap dijual.Cara ini cukup sederhana dan mudah dikerjakan.Terlebih lagi ada peraturan yang ketat dari pemerintah.
Akibatnya bisa ditebak bermunculan para pengusaha (smelter) menambah jumlah perusahaan timah setelah PT Timah milik pemerintah dan PT Koba (patungan pemerintah, swasta dan asing).Keempat unsure inilah yang saat ini mengeruk timah di Babel.Hasilnya sungguh ‘manakjubkan’.Lingkungan di Babel jadi hancur berantakan.Empat unsur di atas saling lempar tanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan.lalu siapa yang harus bertanggung jawab kemana harus mengadu.
The Greeners sempat terdiam ketika Presiden Direktur PTFI Armando Muhler, bertanya tentang kondisi alam di Babel dan bagaimana penambangannya pasca penambangan.”Kalau dilihat dari udara bumi Bangka itu bopeng kayak orang jerawatan”kata Armando dalam kesempatan makan malam di Lupa Lelah Club, Kota Tembagapura, Kamis (15/11) malam.
Armando yang berasal dari palembang tahu benar dengan kondisi alam di babel karena sudah pernah mengelilingi Pulau Bangka.
Setelah mendengar pernyataan tersebut akhirnya The Greeners memaparkan kondisi alam di Bangka yang justru memperkuat pernyataan Armando.

Sedangkan PTFI adalah satu satunya perusahaan asing yang mendapatkan kontrak karya menambang di Provinsi Papua tepatnya di Kabupaten Mimika.Tidak ada perusahaan lain jika ada warag yang menambang dilakuakn dengan cara sederhana.Warga hanya dapat menambang dipinggir Sungai Ajkwa dan dengan alat sederhana yaitu kuali yang terbuat dari kayu.Hasilnyapun sedikit sekali karena mereka melimbang dari tailing PTFI.
Untuk mendapatkan emas dan tembaga diperlukan modal yang besar serta teknogi canggih.Kondisi alam serta hutan perawan Papua menjadi tantangan tersendiri.Daerah penambangan setinggi 4.200 meter dari permukaan laut dengan kadar oksigen yang hanya 14 persen dari suhu 5 derajat Celcius bukan hal mudah untuk ditaklukan.Dengan kondisi yang demikian The Greneers sempat mendapatkan pengarahan untuk tidak melakukan kegiatan fisik yang berlebihan karena akan mudah kelelahan dan pingsan karena kekurangan ogsigen.
Memang terdapat perbedaan mendasar antara penambangan Timah di Babel dengan penambangan emas dan tembaga di PTFI.Jika di Babel terdapat banyak unsur yang mengolah bijih timah maka di Papua hanya PTFI yang mengolah emas dan tembaga.Sehingga di Papua hanya PTFI bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.Tetapi PTFI serius menggarap ini banyangkan saja hingga Desember 2006 PTFI mengeluarkan dana sebesar Rp.1,4 Triliun hanya untuk reklamasi saja.Anggaran untuk reklamasi ini dipastikan meningkat pada tahun 2007.bandingkan dengan PT Timah yang dari tahun 1998 kingga 2006 hanya menganggarkan dana Rp.50 Miliar untuk reklamasi.Memang sekali lagi tidak adil jika harus membandingkan PTFI dengan PT Timah KARENA TIDAK APLE TO APLE. Tetapi paling tidak PTFI menpunyai kemauan untuk melakukan penambangan dan bertanggung jawab lingkungan sekitarnya.
Tanks…..

Tidak ada komentar: